Posting mengikut label

Tuesday, January 20, 2015

Klaim atas Sabah akan terus berlanjut meskipun Kiram tewas


Oleh Rene P. Acosta

Putra mahkota Kesultanan Sulu dan Borneo Utara [Sabah], Agbimmudin Kiram, 74, meninggal pada tanggal 13 Januari. Ia memimpin serangan Lahad Datu di Sabah pada tahun 2013.

Sultan Abraham Idjirani, sekretaris jenderal dan juru bicara Kesultanan, mengatakan kematian Raja Muda [putra mahkota] Agbimmudin Kiram akan mendorong pengikutnya untuk merebut kembali Sabah di bawah bimbingan pemimpin mereka, Sultan Esmail Kiram II.

"Perjuangan akan dilanjutkan dengan dalil yang sama," kata Idjirani, beberapa jam setelah Kesultanan mengkonfirmasi kematian Agbimmudin di kediamannya di Simunul, Tawi-Tawi, sebuah provinsi pulau di Filipina selatan yang berbatasan dengan Sabah.

"Dia meninggal dengan tenang setelah menderita serangan jantung. Kematiannya terjadi dengan cepat," kata Idjirani. Agbimmudin akan digantikan oleh adiknya, Datu Phungkal Kiram, sebagai raja muda.

Memimpin serangan ke Sabah

Agbimmudin memimpin lebih dari 200 pejuang dari Royal Sultanate Force [RSF] dalam serangan berani Lahad Datu pada bulan Februari 2013 dalam upaya untuk merebut kembali Sabah dari Malaysia.

Serangan oleh para pejuang dari Mindanao di Filipina dengan Tawi-Tawi sebagai pangkalan mereka berakhir dengan pertempuran dengan pasukan Malaysiaselama beberapa pekan. Umat Muslim Filipina yang tinggal di Sabah mendukung upaya pengambilalihan itu.

Puluhan pejuang Kesultanan dan tentara Malaysia tewas dalam pertempuran, yang berlangsung selama berminggu-minggu sebelum penandatanganan perjanjian damai antara pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro [MILF].

Keputusan pemerintah Filipina untuk menutup perbatasan selatan dengan Malaysia mencegah bala bantuan pasukan Kesultanan oleh pejuang dari kelompok saingan MILF, Front Pembebasan Nasional Moro [MNLF].

MNLF mendukung upaya Kesultanan  untuk merebut kembali Sabah, karena sebagian besar anggota kelompok - bahkan ketua pendirinyaNur Misuari - berasal dari Sulu, yang berada di bawah Kesultanan.

Seperti anggota MNLF, sebagian besar pejuang Kesultanan adalah suku Tausug, yang dianggap sebagai prajurit paling berani di antara klan Muslim di Filipina.

Serangan Lahad Datu - yang didukung oleh Sultan Jamalul Kiram III, pemimpin Kesultanan Sulu dan Borneo Utara - dilakukan sebagai protes terhadap perjanjian perdamaian, yang ditengahi dan difasilitasi oleh Malaysia.

Pada saat serangan, pemerintah dan MILF berada dalam negosiasi dan hanya kurang dari dua bulan menjelang penandatanganan perjanjian.

Selama pertempuran, muncul laporan bahwa Agbimmudin telah tewas dalam pertempuran itu, tetapi Idjirani mengatakan putra mahkota berlayar kembali ke Tawi-Tawi empat bulan yang lalu.

"Dia merasakan gangguan kesehatan dan itulah sebabnya ia kembali ke Tawi-Tawi, meninggalkan anak buahnya di Sabah," kata Idjirani.

Pertempuran terakhir di Sabah

Juru bicara militer Kolonel Restituto Padilla Jr mengatakan kematian Agbimmudin seharusnya mengakhiri upaya oleh pejuang Kesultanan untuk menyusup ke Sabah dan melibatkan Malaysia ke dalam perang. Padilla menggambarkan Agbimmudin sebagai prajurit yang tak kenal takut.

Keluarga mendiang putra mahkota adalah pewaris kesultanan yang dulu sangat luas, yang sekarang dianggap sebagai "kerajaan tanpa wilayah."

Pada bulan Juli 2014, KSAB Filipina yang baru, Jenderal Gregorio Pio Catapang Jr., memerintahkan militer untuk meningkatkan patroli di dalam perbatasan negara itu dengan Malaysia untuk memastikan bahwa para pejuang bersenjata dari Mindanao tidak bisa menyeberang ke Sabah lagi.

Catapang tidak ingin mengulang insiden Lahad Datu, yang hampir menyebabkan Filipina berperang dengan Malaysia, bila saja Kuala Lumpur tidak membatalkan rencana pemboman di perbatasannya untuk menghentikan warga Muslim Filipina memperkuat pejuang RSF di Sabah.

Mengejar Sabah melalui cara-cara damai

Idjirani mengatakan Kesultanan akan mengejar klaim atas Sabah di bawah bimbingan Sultan Esmail Kiram II. Esmail adalah pribadi moderat, yang memilih untuk bernegosiasi dengan Malaysia atas masalah Sabah, dibandingkan dengan kakaknya, Jamalul, yang meninggal pada Oktober 2013.

Secara historis, Sabah adalah bagian dari Kesultanan Sulu, tetapi Malaysia menegaskan kepemilikannya melalui Federasi Malaysia yang dibuat pada tahun 1963.

Awalnya, Sabah diserahkan ke Sultan Sulu pada abad ke-17 oleh Sultan Brunei. Kesultanan Sulu menyewakan wilayah tersebut kepada British North Borneo Company [BNBC] pada tahun 1798.

BNBC, yang kemudian di bawah kendali Inggris pada tahun 1946, mengembalikan wilayah itu ke Malaysia. Malaysia mengklaim BNBC membeli Sabah. Kesultanan Sulu membalas bahwa Malaysia membayar sewa kepada keluarga Kiram.

Pada tahun 2004, Kesultanan meminta Mahkamah Internasional PBB untuk menyelesaikan klaim kepemilikan, tapi Idjirani mengatakan pengadilan tidak bisa berlanjut karena Kesultanan tidak memiliki kedudukan sebagai negara.

Pembicaraan rahasia

Idjirani mengatakan pembicaraan awal yang bertujuan untuk mengatur pertemuan resmi mengenai masalah antara Kuala Lumpur dan Kesultanan, adalah bukti bahwa Esmail ingin menyelesaikan klaim melalui cara-cara damai.

Kesultanan adalah pemilik Sabah yang sah dan sesungguhnya, klaim Idjirani.

Idjirani mengingat posisi Esmail dengan Malaysia terkait Sabah: "Bagaimana Malaysia dapat terus menduduki, mengeksploitasi dan memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alam Kalimantan Utara [Sabah], seperti minyak, yang bukan milik mereka menurut hak bersejarah dan hak hukum?"

Militer Filipina mendukung potensi perundingan itu. Padilla mengatakan adanya kesepakatan berarti akan menghapus satu masalah keamanan.

Melemahnya klaim Sabah melalui perjanjian damai MILF

Sementara Kesultanan Sulu mendukung kesepakatan damai antara MILF dan pemerintah, mereka menentang masuknya Laut Sulu secara sepihak dalam perjanjian kerangka kerjanya.

Mereka menyatakan bahwa masuknya Sulu akan melemahkan klaim atau perjuangan mereka mendapatkan Sabah melawan Malaysia.

Laut Sulu meliputi Palawan; Zamboanga del Norte; Zamboanga City; Basilan; bagian dari Provinsi Negros; Sulu; Tawi-Tawi hingga Teluk Darver dan Lahad Datu di Sabah hingga Selat Sibutu.

Provinsi-provinsi Maguindanao, Lanao del Sur, Basilan, Sulu dan Tawi-Tawi tercakup dalam kesepakatan damai antara pemerintah dan MNLF, yang ditandatangani pada tahun 1976 di Tripoli, Libya, dan ditegaskan dalam "Perjanjian Perdamaian Akhir" yang ditandatangani pada tahun 1996.

Perjanjian tersebut menghasilkan penciptaan Daerah Otonomi Muslim Mindanao [ARMM] yang meliputi lima provinsi.

MNLF, yang menentang kesepakatan damai antara pemerintah dan MILF, berpendapat dimasukkannya ARMM di bawah wilayah yang diperluas yang akan diciptakan untuk MILF, secara sepihak akan membatalkan perjanjian damai dengan pemerintah.


Sumber - Asia-Pacific Defense Forum

No comments: